Monday, October 10, 2011
at
Monday, October 10, 2011
|
Kamis, 09 Juni 2011 02:18
Kecemasan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang masih saja didominasi oleh pertumbuhan ekonomi yang bersifat konsumtif ternyata tidak terbukti. Bagaimana cara mengetahuinya? Faktanya, pertumbuhan kredit perbankan tahun 2010 menurut laporan Bank Indonesia mencapai 22-24 persen yang melebihi pertumbuhan tahun 2007 dan 2009. Kredit yang disalurkan untuk modal kerja per Oktober 2010 melampaui kredit konsumsi dan investasi yakni Rp110,4 triliun adalah kredit modal kerja, Rp64,3 kredit konsumsi, dan Rp27,7 kredit investasi.
Fakta lain yang menguatkan pertumbuhan ekonomi yang baik dapat dilihat ketika meningkatnya kredit yang dicairkan ternyata tidak dipengaruhi oleh kondisi pertumuhan ekonomi global yang bermasalah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas rata-rata negara industri maju, yaitu selalu di atas 4 persen dan tahun kemarin mencapai 6.1 persen.
Krisis global di Indonesia berlangsung singkat karena negara ini bukan negara industri seperti US, Jepang, Jerman, atau anggota G-8 yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak jauh dari 0 persen (nol persen) atau kecil daripada 3 persen per tahunnya.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi Indoesia pada saat krisis global tidak begitu berdampak karena hampir seluruh hasil produksi kita dikonsumsi oleh konsumen dalam negeri atau jikalaupun ada produk ekspor, maka produk itu hanya berkenaan dengan kebutuhan primer masyarakat internasional.
Hal itu dapat kita lihat bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama Januari-Desember 2008 nilai ekspor sebesar US$136,76 miliar meningkat sebesar 19,86 persen dan di tahun 2009 dan 2010 tetap mengalami pertumbuhan yang baik.
Secara kumulatif nilai volume ekspor Indonesia pada Januari-Desember 2009 menembus angka US$116,49 miliar atau menurun 14,98 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara pada aktivitas ekspor nonmigas mencapai US$97,47 miliar atau menurun 9,66 persen.
Peningkatan ekspor nonmigas terbesar Desember 2009 terjadi pada lemak dan minyak hewan dan nabati sebesar US$1.092,2 juta, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$46,8 juta.
Angka ekspor yang mengalami penurunan itu membuktikan bahwa negara-negara maju di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi karena menurunnya jumlah impor mereka selain kebutuhan primer.
Paradoks Ekonomi Lokal di Sumbar
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat yang mencapai 5,93 persen sepanjang tahun 2010 sebenarnya tidak berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mengapa demikian? Aktivitas ekonomi di Sumbar bukanlah pada kegiatan produksi yang mengolah bahan baku menjadi produk akhir yang bernilai jual tinggi.
Bila adapun kegiatan ekspor hanyalah berupa bahan baku seperti CPO, gambir, atau rotan dan itu jelas bahwa yang di ekspor hanyalah bahan baku.
Sumbar kaya akan bahan baku industri baik yang dihasilkan oleh pertanian, perkebunan, maupun kehutanan. Namun, pemerintah Sumbar tidak mampu memberdayakan pengrajin, petani, atau tenaga kerja potensial untuk mengolah itu menjadi barang jadi.
Seharusnya, dukungan terhadap industri kreatif bukan lagi pada kebijakan yang menambah arsip Surat Keputusan (SK) level gubernur, bupati atau walikota namun kepada kebijakan nyata, yaitu pemberdayaan masyarakat lokal.
Kita memahami bahwa untuk membangun industri hilir dari olahan perkebunan, pertanian dan sumber daya alam berupa mineral membutuhkan biaya yang besar, namun untuk memberdayakan masyarakat lokal yang akan mengolah bahan baku seperti rotan, bambu, atau tekstil seperti songket dan sulaman tetap tidaklah sebesar membangun industri hilir perkebunan atau sumber daya alam mineral.
Kemudian, industri kreatif dari hasil hutan dan tekstil ciri khas lokal itu hanya butuh pelatihan keterampilan, peremajaan alat mesin industri, dan pengetahuan bagaimana mengelola aset perusahaan skala mikro (home industry) agar mampu menghasilkan produk berorientasi ekspor dengan manajemen keuangan yang baik.
Secara bersama-sama dapat kita pertanyakan apakah hal demikian sudah dilakukan dengan baik? Mari sepakat untuk mengatakan tidak! Bila benar itu yang terjadi.
Nah, dimanakah lagi peran pemerintah bisa kita temukan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi masyakarat lokal untuk mencapai kesejahterakan rakyat? Apakah kita harus mengatakan kepada pemerintah bahwa selama ini rakyat kecil selalu didahulukan daripada investor besar? Padahal bukan demikian kenyataanya karena pemerintah sepertinya lebih semangat mengundang investor besar.
Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan bergeraknya ekonomi mikro, maka peran pemerintah bukan mengundang investor besar saja. Kita tahu bahwa para investor itu lebih mengutamakan syarat yang banyak dalam mengembangkan daerah baru seperti Sumbar. Selain itu, kita bukan sedang menguji teori pertumbuhan ekonomi dari para ekonom klasik yang mengatakan bahwa sumber daya alam dan teknologi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
Hari ini kita juga sedang dihadapkan pada fakta bahwa kita belum sanggup untuk mendukung Sumbar menjadi kawasan industri karena infrastruktur yang jauh dari kondisi ideal bagi pertumbuhan industri.
Satu hal lagi, permasalahan lain seperti tanah ulayat juga terus membayangi. Oleh karena itu, memberdayakan masyarakat lokal berarti memberdayakan ekonomi rakyat dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli.
Rendahnya daya beli rakyat Sumbar dapat kita lihat dari angka pendapatan per kapita rakyatnya yang hanya Rp12,96 juta per jiwa per tahun atau setara USD1.400 dan jauh di bawah rata-rata nasional atas dasar harga berlaku pada 2010 yang sebesar USD3.004,9 atau setara dengan Rp27 juta.
Di Sumbar, pendapatan per kapita tertinggi dicapai oleh Kota Padang sebesar Rp12,96 juta per jiwa per tahun dan yang terendah oleh Kabupaten Pesisir Selatan sebesar Rp4,46 juta per jiwa per tahun.
Padahal untuk kota-kota besar tertentu, pendapatan per kapita masyarakat mereka sudah melebihi USD10.000 per tahun. Menurut teori pembangunan ekonomi, bahwa bilamana pendapatan per kapita suatu daerah maupun negara bangsa sudah mencapai USD3.000, maka untuk membuat industri apapun, baik besar maupun kecil, sudah tentu hasil dari industri itu dapat dibeli dengan baik oleh masyarakatnya karena sudah bagusnya daya beli masyarakat.
Sejalan dengan upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat, maka sudah saatnya pemerintah daerah memaksimalkan bertumbuhya industri kreatif baru agar aktivitas ekonomi mikro benar-benar bergerak.
Ada hal penting untuk diketahui bahwa beberapa hari lalu (26 Mei 2011, bbc.co.uk/indonesia) saya membaca hasil survei yang dirilis oleh BBC London yang dilakukan oleh BBC World Service di 24 negara.
Fakta terbaru menemukan bahwa indonesia merupakan negara yang ramah terhadap munculnya pengusaha (entrepreneur) baru. Survei itu menempatkan Indonesia, AS, Kanada, India dan Australia termasuk diantara negara-negara yang memiliki budaya terbaik di dunia bagi orang-orang yang menciptakan pengusaha baru.
Sebaliknya, Kolombia, Mesir, Turki, Italia dan Rusia memiliki budaya yang kurang terbuka dalam melakukan inovasi dibidang kewirausahaan.
Dan bagi saya, ini adalah saatnya membuktikannya di Sumbar, bukan Indonesia secara umum.
AZIZUL MENDRA
(Peneliti Bidang Ekonomi Politik)
(http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5563:pertumbuhan-ekonomi-lokal-dalam-ekonomi-global-&catid=11:opini&Itemid=83)
Kecemasan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang masih saja didominasi oleh pertumbuhan ekonomi yang bersifat konsumtif ternyata tidak terbukti. Bagaimana cara mengetahuinya? Faktanya, pertumbuhan kredit perbankan tahun 2010 menurut laporan Bank Indonesia mencapai 22-24 persen yang melebihi pertumbuhan tahun 2007 dan 2009. Kredit yang disalurkan untuk modal kerja per Oktober 2010 melampaui kredit konsumsi dan investasi yakni Rp110,4 triliun adalah kredit modal kerja, Rp64,3 kredit konsumsi, dan Rp27,7 kredit investasi.
Fakta lain yang menguatkan pertumbuhan ekonomi yang baik dapat dilihat ketika meningkatnya kredit yang dicairkan ternyata tidak dipengaruhi oleh kondisi pertumuhan ekonomi global yang bermasalah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas rata-rata negara industri maju, yaitu selalu di atas 4 persen dan tahun kemarin mencapai 6.1 persen.
Krisis global di Indonesia berlangsung singkat karena negara ini bukan negara industri seperti US, Jepang, Jerman, atau anggota G-8 yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak jauh dari 0 persen (nol persen) atau kecil daripada 3 persen per tahunnya.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi Indoesia pada saat krisis global tidak begitu berdampak karena hampir seluruh hasil produksi kita dikonsumsi oleh konsumen dalam negeri atau jikalaupun ada produk ekspor, maka produk itu hanya berkenaan dengan kebutuhan primer masyarakat internasional.
Hal itu dapat kita lihat bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama Januari-Desember 2008 nilai ekspor sebesar US$136,76 miliar meningkat sebesar 19,86 persen dan di tahun 2009 dan 2010 tetap mengalami pertumbuhan yang baik.
Secara kumulatif nilai volume ekspor Indonesia pada Januari-Desember 2009 menembus angka US$116,49 miliar atau menurun 14,98 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara pada aktivitas ekspor nonmigas mencapai US$97,47 miliar atau menurun 9,66 persen.
Peningkatan ekspor nonmigas terbesar Desember 2009 terjadi pada lemak dan minyak hewan dan nabati sebesar US$1.092,2 juta, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$46,8 juta.
Angka ekspor yang mengalami penurunan itu membuktikan bahwa negara-negara maju di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi karena menurunnya jumlah impor mereka selain kebutuhan primer.
Paradoks Ekonomi Lokal di Sumbar
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat yang mencapai 5,93 persen sepanjang tahun 2010 sebenarnya tidak berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mengapa demikian? Aktivitas ekonomi di Sumbar bukanlah pada kegiatan produksi yang mengolah bahan baku menjadi produk akhir yang bernilai jual tinggi.
Bila adapun kegiatan ekspor hanyalah berupa bahan baku seperti CPO, gambir, atau rotan dan itu jelas bahwa yang di ekspor hanyalah bahan baku.
Sumbar kaya akan bahan baku industri baik yang dihasilkan oleh pertanian, perkebunan, maupun kehutanan. Namun, pemerintah Sumbar tidak mampu memberdayakan pengrajin, petani, atau tenaga kerja potensial untuk mengolah itu menjadi barang jadi.
Seharusnya, dukungan terhadap industri kreatif bukan lagi pada kebijakan yang menambah arsip Surat Keputusan (SK) level gubernur, bupati atau walikota namun kepada kebijakan nyata, yaitu pemberdayaan masyarakat lokal.
Kita memahami bahwa untuk membangun industri hilir dari olahan perkebunan, pertanian dan sumber daya alam berupa mineral membutuhkan biaya yang besar, namun untuk memberdayakan masyarakat lokal yang akan mengolah bahan baku seperti rotan, bambu, atau tekstil seperti songket dan sulaman tetap tidaklah sebesar membangun industri hilir perkebunan atau sumber daya alam mineral.
Kemudian, industri kreatif dari hasil hutan dan tekstil ciri khas lokal itu hanya butuh pelatihan keterampilan, peremajaan alat mesin industri, dan pengetahuan bagaimana mengelola aset perusahaan skala mikro (home industry) agar mampu menghasilkan produk berorientasi ekspor dengan manajemen keuangan yang baik.
Secara bersama-sama dapat kita pertanyakan apakah hal demikian sudah dilakukan dengan baik? Mari sepakat untuk mengatakan tidak! Bila benar itu yang terjadi.
Nah, dimanakah lagi peran pemerintah bisa kita temukan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi masyakarat lokal untuk mencapai kesejahterakan rakyat? Apakah kita harus mengatakan kepada pemerintah bahwa selama ini rakyat kecil selalu didahulukan daripada investor besar? Padahal bukan demikian kenyataanya karena pemerintah sepertinya lebih semangat mengundang investor besar.
Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan bergeraknya ekonomi mikro, maka peran pemerintah bukan mengundang investor besar saja. Kita tahu bahwa para investor itu lebih mengutamakan syarat yang banyak dalam mengembangkan daerah baru seperti Sumbar. Selain itu, kita bukan sedang menguji teori pertumbuhan ekonomi dari para ekonom klasik yang mengatakan bahwa sumber daya alam dan teknologi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
Hari ini kita juga sedang dihadapkan pada fakta bahwa kita belum sanggup untuk mendukung Sumbar menjadi kawasan industri karena infrastruktur yang jauh dari kondisi ideal bagi pertumbuhan industri.
Satu hal lagi, permasalahan lain seperti tanah ulayat juga terus membayangi. Oleh karena itu, memberdayakan masyarakat lokal berarti memberdayakan ekonomi rakyat dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli.
Rendahnya daya beli rakyat Sumbar dapat kita lihat dari angka pendapatan per kapita rakyatnya yang hanya Rp12,96 juta per jiwa per tahun atau setara USD1.400 dan jauh di bawah rata-rata nasional atas dasar harga berlaku pada 2010 yang sebesar USD3.004,9 atau setara dengan Rp27 juta.
Di Sumbar, pendapatan per kapita tertinggi dicapai oleh Kota Padang sebesar Rp12,96 juta per jiwa per tahun dan yang terendah oleh Kabupaten Pesisir Selatan sebesar Rp4,46 juta per jiwa per tahun.
Padahal untuk kota-kota besar tertentu, pendapatan per kapita masyarakat mereka sudah melebihi USD10.000 per tahun. Menurut teori pembangunan ekonomi, bahwa bilamana pendapatan per kapita suatu daerah maupun negara bangsa sudah mencapai USD3.000, maka untuk membuat industri apapun, baik besar maupun kecil, sudah tentu hasil dari industri itu dapat dibeli dengan baik oleh masyarakatnya karena sudah bagusnya daya beli masyarakat.
Sejalan dengan upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat, maka sudah saatnya pemerintah daerah memaksimalkan bertumbuhya industri kreatif baru agar aktivitas ekonomi mikro benar-benar bergerak.
Ada hal penting untuk diketahui bahwa beberapa hari lalu (26 Mei 2011, bbc.co.uk/indonesia) saya membaca hasil survei yang dirilis oleh BBC London yang dilakukan oleh BBC World Service di 24 negara.
Fakta terbaru menemukan bahwa indonesia merupakan negara yang ramah terhadap munculnya pengusaha (entrepreneur) baru. Survei itu menempatkan Indonesia, AS, Kanada, India dan Australia termasuk diantara negara-negara yang memiliki budaya terbaik di dunia bagi orang-orang yang menciptakan pengusaha baru.
Sebaliknya, Kolombia, Mesir, Turki, Italia dan Rusia memiliki budaya yang kurang terbuka dalam melakukan inovasi dibidang kewirausahaan.
Dan bagi saya, ini adalah saatnya membuktikannya di Sumbar, bukan Indonesia secara umum.
AZIZUL MENDRA
(Peneliti Bidang Ekonomi Politik)
(http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5563:pertumbuhan-ekonomi-lokal-dalam-ekonomi-global-&catid=11:opini&Itemid=83)
Posted by
Pengertian Animasi 3D
Labels:
Global ekonomi
0 comments:
Post a Comment