Kamis, 09 Juni 2011 02:18

Kecemasan terhadap per­tum­buhan ekonomi di In­donesia yang masih saja didominasi oleh per­tumbuhan ekonomi yang bersifat kon­sumtif ternyata tidak terbukti. Bagaimana cara me­nge­ta­hui­nya? Faktanya, per­tumbuhan kredit perbankan tahun 2010 menurut laporan Bank In­donesia mencapai 22-24 per­sen yang melebihi pertum­buhan tahun 2007 dan 2009. Kredit yang disalurkan untuk modal kerja per Oktober 2010 melampaui kredit kon­sumsi dan investasi yakni Rp110,4 triliun adalah kredit modal kerja, Rp64,3 kredit konsumsi, dan Rp27,7 kredit investasi.
Fakta lain yang menguat­kan pertumbuhan ekonomi yang baik dapat dilihat ketika meningkatnya kredit yang dicairkan ternyata tidak dipe­ngaruhi oleh kondisi pertu­muhan ekonomi global yang bermasalah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas rata-rata negara industri maju, yaitu selalu di atas 4 persen dan tahun kemarin mencapai 6.1 persen.
Krisis global di Indonesia berlangsung singkat karena negara ini bukan negara industri seperti US, Jepang, Jerman, atau anggota G-8 yang mengalami pertum­buhan ekonomi yang tidak jauh dari 0 persen (nol per­sen) atau kecil daripada 3 persen per tahunnya.
Sebenarnya, per­tumbuhan ekonomi Indoesia pada saat krisis global tidak begitu berdampak karena hampir seluruh hasil produksi kita dikonsumsi oleh konsu­men dalam negeri atau jikalau­pun ada produk ekspor, maka produk itu hanya berkenaan dengan kebutuhan primer masyarakat internasional.
Hal itu dapat kita lihat bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama Januari-Desember 2008 nilai ekspor sebesar US$136,76 miliar meningkat sebesar 19,86 persen dan di tahun 2009 dan 2010 tetap mengalami pertumbuhan yang baik.
Secara kumulatif nilai volume ekspor Indonesia pada Januari-Desember 2009 me­nembus angka US$116,49 miliar atau menurun 14,98 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, se­men­tara pada aktivitas ekspor non­migas mencapai US$97,47 miliar atau me­nurun 9,66 persen.
Peningkatan ekspor non­migas terbesar Desember 2009 terjadi pada lemak dan minyak hewan dan nabati sebesar US$1.092,2 juta, sedangkan penurunan ter­besar terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$46,8 juta.
Angka ekspor yang me­ngalami penurunan itu mem­buktikan bahwa negara-negara maju di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi karena menurunnya jumlah impor mereka selain kebutuhan primer.

Paradoks Ekonomi Lokal di Sumbar
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat yang men­capai 5,93 persen sepanjang tahun 2010 sebenarnya tidak berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mengapa demikian? Akti­vitas ekonomi di Sumbar bukanlah pada kegiatan pro­duksi yang me­ngolah bahan baku menjadi produk akhir yang bernilai jual tinggi.
Bila adapun kegia­tan eks­por hanyalah berupa bahan baku seperti CPO, gambir, atau rotan dan itu jelas bahwa yang di ekspor hanyalah ba­han baku.
Sumbar kaya akan bahan baku industri baik yang diha­silkan oleh pertanian, perke­bunan, maupun kehutanan. Namun, pemerintah Sumbar tidak mampu memberdayakan pengrajin, petani, atau tenaga kerja potensial untuk me­ngolah itu menjadi barang jadi.
Seharusnya, dukungan terha­dap industri kreatif bukan lagi pada kebijakan yang menam­bah arsip Surat Keputusan (SK) level gu­bernur, bupati atau walikota namun kepada kebijakan nyata, yaitu pem­berdayaan masyarakat lokal.
Kita memahami bahwa untuk membangun industri hilir dari olahan perkebunan, pertanian dan sumber daya alam berupa mineral mem­butuhkan biaya yang besar, namun untuk memberdayakan masyarakat lokal yang akan mengolah bahan baku seperti rotan, bambu, atau tekstil seperti songket dan sulaman tetap tidaklah sebesar mem­bangun industri hilir perke­bunan atau sumber daya alam mineral.
Kemudian, industri kreatif dari hasil hutan dan tekstil ciri khas lokal itu hanya butuh pelatihan keterampilan, peremajaan alat mesin indus­tri, dan pengetahuan bagai­mana mengelola aset peru­sahaan skala mikro (home industry) agar mampu meng­hasilkan produk berorientasi ekspor dengan manajemen keuangan yang baik.
Secara bersama-sama da­pat kita pertanyakan apakah hal demikian sudah dilakukan dengan baik? Mari sepakat untuk mengatakan tidak! Bila benar itu yang terjadi.
Nah, dimanakah lagi pe­ran peme­rintah bisa kita temukan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi ma­syakarat lokal untuk men­capai kese­jah­terakan rakyat? Apakah kita harus menga­takan kepada pemerintah bahwa selama ini rakyat kecil selalu didahu­lukan daripada investor besar? Padahal bukan demikian kenyataanya karena peme­rintah sepertinya lebih sema­ngat mengundang inves­tor besar.
Untuk mencapai kese­jahteraan rakyat dan berge­raknya ekonomi mikro, maka peran pemerintah bukan me­ngun­dang investor besar saja. Kita tahu bahwa para in­vestor itu lebih mengu­ta­makan syarat yang banyak dalam mengembangkan dae­rah baru seperti Sumbar. Selain itu, kita bukan sedang menguji teori pertumbuhan ekonomi dari para ekonom klasik yang mengatakan bah­wa sumber daya alam dan tek­nologi mempengaruhi pertum­buhan ekonomi suatu bangsa.
Hari ini kita juga sedang dihadapkan pada fakta bahwa kita belum sanggup untuk mendukung Sumbar menjadi kawasan industri karena infra­struktur yang jauh dari kondisi ideal bagi pertumbuhan indus­tri.
Satu hal lagi, perma­salahan lain seperti tanah ulayat juga terus membayangi. Oleh karena itu, mem­berda­yakan masyarakat lokal berarti memberdayakan ekonomi rakyat dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli.
Rendahnya daya beli rak­yat Sumbar dapat kita lihat dari angka pendapatan per kapita rakyatnya yang hanya Rp12,96 juta per jiwa per tahun atau setara USD1.400 dan jauh di bawah rata-rata nasional atas dasar harga berlaku pada 2010 yang sebe­sar USD3.004,9 atau setara dengan Rp27 juta.
Di Sumbar, pendapatan per kapita tertinggi dicapai oleh Kota Padang sebesar Rp12,96 juta per jiwa per tahun dan yang terendah oleh Kabupaten Pesisir Selatan sebesar Rp4,46 juta per jiwa per tahun.
Padahal untuk kota-kota besar tertentu, pendapatan per kapita ma­syarakat mereka sudah mele­bihi USD10.000 per tahun. Menurut teori pembangunan ekonomi, bah­wa bilamana pendapatan per kapita suatu daerah maupun negara bangsa sudah men­capai USD3.000, maka untuk membuat industri apapun, baik besar maupun kecil, sudah tentu hasil dari industri itu dapat dibeli dengan baik oleh masya­rakatnya karena sudah bagus­nya daya beli masyarakat.
Sejalan dengan upaya un­tuk meningkatkan daya beli masyarakat, maka sudah saat­nya pemerintah daerah me­maksimalkan bertumbuhya industri kreatif baru agar aktivitas ekonomi mikro benar-benar bergerak.
Ada hal penting untuk diketahui bahwa beberapa hari lalu (26 Mei 2011, bbc.­co.uk/indonesia) saya mem­baca hasil survei yang dirilis oleh BBC London yang dila­kukan oleh BBC World Ser­vice di 24 negara.
Fakta terbaru menemukan bahwa indonesia  merupakan negara yang ramah terhadap munculnya pengusaha (entre­preneur) baru. Survei itu menempatkan Indonesia, AS, Kanada, India dan Australia termasuk diantara negara-negara yang memiliki budaya terbaik di dunia bagi orang-orang yang menciptakan pengusaha baru.
Sebaliknya, Kolombia, Mesir, Turki, Italia dan Rusia memiliki budaya yang kurang terbuka dalam melakukan inovasi dibidang kewirau­sahaan.
Dan bagi saya, ini adalah saatnya membuk­tikannya di Sumbar, bukan Indonesia secara umum.


AZIZUL MENDRA
(Peneliti Bidang Ekonomi Politik)
(http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5563:pertumbuhan-ekonomi-lokal-dalam-ekonomi-global-&catid=11:opini&Itemid=83)
Posted by Pengertian Animasi 3D Labels:

0 comments:

Total Pageviews

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates